Emerald Khatulistiwa

Wednesday, October 31, 2012

Islam di Indonesia


Indonesia adalah negara dengan ribuan pulau dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Banyak faktor yang menyebabkan mayoritas penduduk Indonesia menjadi beragama Islam, karena berdasarkan sejarah yang ada agama awal dari penduduk Indonesia adalah agama Hindu dan Buddha. Penyebaran Islam ke Indonesia tidak melalui peperangan melainkan melalui jalan damai. Sejarah mencatat bahwa nusantara tercinta ini sejak dulu sudah terkenal dengan hasil rempah-rempahnya sampai ke berbagai penjuru dunia, sehingga tak heran banyak negara-negara luar yang berkunjung ke Indonesia untuk membeli rempah-rempah yang di bawa kembali untuk di jual ke daerah mana mereka berasal, dengan demikian sedikit banyaknya kebudayaan dan agama-agama yang di bawa oleh para pendatang ke Indonesia mulai tersebar di Indonesia, salah satunya yaitu agama Islam.

Batu Nisan Sultan Malik Al Saleh
Banyak catatan sejarah yang membuktikan agama Islam masuk ke Indonesia di antaranya adalah:
1. Bukti awal dari keberadaan agama Islam ke Indonesia adalah berasal dari seorang pengelana terkenal dari Venesia yang bernama Marco Polo. Dia pernah singgah ke Indonesia tepatnya di daerah sebelah utara pulau Sumatera, di sana dia menemukan kota Islam bernama Perlakyang yang di kelilingi oleh daerah-daerah non Islam. Hal ini di perkuat oleh catatan-catatan yang terdapat dalam buku-buku sejarah seperti Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu.
2. Bukti lainnya berasal dari Ibnu batutah ketika mengunjungi Samudera Pasai pada tahun 1345 yang mengatakan bahwa pada saat itu yang memerintah dengan memakai nama Islam yaitu Malikut Thahbir bin Malik Al Saleh.
3. Bukti ketiga adalah dari seorang pengelana bangsa Portugis bernama Tome Pires yang pernah berkunjung ke Nusantara ini pada awal abad ke 16, dalam catatannya dia yang berjudul Summa Oriental mengatakan bahwa menjelang abad ke 13 sudah ada masyarakat muslim di Samudera Pasai, Perlak dan Palembang.
4. Bukti ke empat dengan di temukannya makam Fatimah binti Maimun di pulau Jawa tepatnya di Leran (Gresik)  yang berangka tahun 1082 M dan beberapa makam Islam di daerah Tralaya yang berasal dari abad ke 13 M.
5. Bukti ke lima di dapat dari catatan sejarah kerajaan Cina tepatnya menurut catatan dinasti Tang, para pedagang Ta-Shih (sebutan bagi kaum Muslim Arab dan Persia) pada abad ke 9 dan ke 10 sudah ada di Kanton dan Sumatera.

Salah satu faktor utama cepatnya penyebaran agama Islam di Indonesia tidak lain dari runtuhnya kerajaan Majapahit. Selain dari itu beberapa faktor yang menyebabkan penyebaran agama Islam cepat di terima oleh mayoritas agama Hindu dan Buddha pada saat itu adalah:
1. Pernikahan antara para pedagang dan kaum bangsawan, contoh: Raja Brawijaya yang menikah dengan Putri Jeumpa yang menurunkan Raden Patah.
2. Melalui Pendidikan Pesantren.
3. Melalui perdagangan.
4. Melalui seni dan kebudayaan.
5. Melalui Dakwah.

Meskipun banyak yang mengatakan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13 tetapi hal tersebut tidak menjadi suatu kepastian kapan tepatnya agama Islam masuk ke Indonesia, menurut sejarawan ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan tentang proses masuknya Islam ke Indonesia yaitu teori Mekkah, teori Gujarat dan teori Persia.
1. Teori Gujarat, teori yang di pelopori oleh Snouck Hurgronje ini menyatakan bahwa agama Islam baru masuk ke Nusantara pada abad ke 13 Masehi yang di bawa oleh para pedagang dari Kambay (Gujarat), India.
2. Teori Persia, teori ini di pelopori  oleh P.A. Husein Hidayat, teori Persia ini menyatakan agama Islam di bawa oleh para pedagang dari Persia (sekarang Iran) karena adanya beberapa kesamaan antara kebudayaan masyarakat Islam Indonesia dengan Persia.
3. Teori Mekkah, teori ini adalah teori baru yang muncul untuk menyanggah bahwa Islam baru sampai di Indonesia pada abad ke 13 dan di bawa oleh orang Gujarat. Teori ini mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dari Mekkah (arab) sebagai pusat agama Islam sejak abad ke 7. Teori ini di dasari oleh sebuah berita dari Cina yang menyatakan bahwa pada abad ke 7 terdapat sebuah perkampungan muslim di pantai barat Sumatera.

PENYEBARAN ISLAM DI JAWA
Adapun Penyebaran agama Islam di jawa adalah dengan kehadiran Wali Songo yang sangat dominan dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Era wali songo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Buddha dalam budaya Nusantara untuk di gantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan, namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat wali songo lebih banyak di sebut di banding yang lain.

Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu Majapahit, Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus dari Timur" hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat di pahami masyarakat Jawa yakni nuansa Hindu dan Budha. Mungkin selama ini banyak yang mengartikan bahwa wali songo itu jumlahnya sembilan orang, namun bila kita telah lebih jauh ternyata wali songo ini terdiri dari beberapa orang dan melewati beberapa fase perkembangan.

Pada masa itu Islam masih terbatas pada keluarga pedagang yang menikah dengan warga pribumi yang bermukim di sekitar pelabuhan. Kerajaan Majapahit dan Pajajaran masih berdiri kuat, masyarakatpun masih banyak yang beragama Hindu. Keterangan tentang situasi  tersebut sampai kepada Sultan Muhammad I, penguasa Turki. Kemudian beliau mengirim surat kepada para pembesar Islam di Afrika Utara dan Timur Tengah. Isinya meminta para ulama yang mempunyai karomah untuk di kirim ke pulau Jawa. Maka terkumpullah sembilan ulama berilmu tinggi hingga pada tahun 808 Hijarah atau 1404 Masehi  para ulama itu berangkat ke pulau Jawa.

Seperti di sebutkan di atas perjalanan wali songo di Indonesia mengalami beberapa fase yaitu:
A. FASE-FASE WALI SONGO
A.1 Fase Pertama Wali songo adalah:
1. Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki ahli mengatur negara. Berdakwah di Jawa bagian timur. Wafat di Gresik pada tahun 1419 M. Makamnya terletak satu kilometer dari sebelah utara pabrik Semen Gresik.
2. Maulana Ishak berasal dari Samarqand (dekat Bukhara-Rusia Selatan). Beliau ahli pengobatan. Setelah tugasnya di Jawa selesai Maulana Ishak pindah ke Pasai dan wafat di sana.
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubra, berasal dari Mesir. Beliau berdakwah keliling. Makamnya di Troloyo Trowulan, Mojokerto Jawa Timur.
4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maghrib (Maroko), beliau berdakwah keliling. Wafat tahun 1465 M.  Makamnya di Jatinom Klaten, Jawa Tengah.
5. Maulana Malik Isroil berasal dari Turki, ahli mengatur negara. Wafat tahun 1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar, berasal dari Persia (Iran). Ahli pengobatan. Wafat 1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
7. Maulana Hasanuddin berasal dari Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya di samping masjid Banten Lama.
8. Maulana Alayuddin berasal dari Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya di samping masjid Banten Lama.
9. Syekh Subakir, berasal dari Persia, ahli menumbali (metode rukyah) tanah angker yang dihuni jin-jin jahat tukang menyesatkan manusia. Setelah para Jin tadi menyingkir dan lalu tanah yang telah netral dijadikan pesantren. Setelah banyak tempat yang ditumbali (dengan Rajah Asma Suci) maka Syekh Subakir kembali ke Persia pada tahun 1462 M dan wafat di sana. Salah seorang pengikut atau sahabat Syekh Subakir tersebut ada di sebelah utara Pemandian Blitar, Jawa Timur. Terdapat peninggalan Syekh Subakir berupa sajadah yang terbuat dari batu kuno disana.

A.2. Fase Kedua Wali Songo
Pada periode kedua ini masuklah tiga orang wali menggantikan tiga wali yang wafat. Ketiganya adalah:
Raden Ahmad Ali Rahmatullah, datang ke Jawa pada tahun 1421 M menggantikan Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M. Raden Ahmad berasal dari Cempa, Muangthai Selatan (Thailand Selatan).
Sayyid Ja’far Shodiq berasal dari Palestina, datang di Jawa tahun 1436 menggantikan Malik Isro’il yang wafat pada tahun 1435 M. Beliau tinggal di Kudus sehingga dikenal dengan Sunan Kudus.
Syarif Hidayatullah, berasal dari Palestina. Datang di Jawa pada tahun 1436 M. Menggantikan Maulana Ali Akbar yang wafat tahun 1435 M. Sidang walisongo yang kedua ini di adakan di Ampel Surabaya.

Para wali kemudian membagi tugas. Sunan Ampel, Maulana Ishaq dan Maulana Jumadil Kubro bertugas di Jawa Timur. Sunan Kudus, Syekh Subakir dan Maulana Al-Maghrobi bertugas di Jawa Tengah. Syarif Hidayatullah, Maulana Hasanuddin dan Maulana Aliyuddin di Jawa Barat. Dengan adanya pembagian tugas ini maka masing-masing wali telah mempunyai wilayah dakwah sendiri-sendiri, mereka bertugas sesuai keahlian masing-masing.

A.3. Fase Ketiga Wali Songo
Pada tahun 1463 M. Masuklah empat wali menjadi anggota Walisongo yaitu:
1.Raden Paku atau Syekh Maulana Ainul Yaqin kelahiran Blambangan Jawa Timur. Putra dari Syekh Maulana Ishak dengan putri Kerajaan Blambangan bernama Dewi Sekardadu atau Dewi Kasiyan. Raden Paku ini menggantikan kedudukan ayahnya yang telah pindah ke negeri Pasai. Karena Raden Paku tinggal di Giri maka beliau lebih terkenal dengan sebutan Sunan Giri. Makamnya terletak di Gresik Jawa Timur.
2. Raden Said, atau Sunan Kalijaga, kelahiran Tuban Jawa Timur. Beliau adalah putra Adipati Wilatikta yang berkedudukan di Tuban. Sunan Kalijaga menggantikan Syekh Subakir yang kembali ke Persia.
3. Raden Makdum Ibrahim, atau Sunan Bonang, lahir di Ampel Surabaya. Beliau adalah putra Sunan Ampel, Sunan Bonang menggantikan kedudukan Maulana Hasanuddin yang wafat pada tahun 1462. Sidang Walisongo yang ketiga ini juga berlangsung di Ampel Surabaya.

A.4. Fase Keempat Wali Songo
1. Pada tahun 1466 diangkat dua wali menggantikan dua yang telah wafat, yakni:
Raden atau Raden Fattah (Raden Patah)
Raden Patah merupakan murid dari Sunan Ampel, beliau putra Raja Brawijaya Majapahit. Pada tahun 1462 M, beliau diangkat sebaga Adipati Bintoro dan membangun Masjid Demak pada tahun 1465 M. pada tahun 1468 dinobatkan sebagai Sultan Demak.
2. Fathullah Khan, putra Sunan Gunung Jati, beliau di pilih sebagai anggota Walisongo menggantikan ayahnya yang telah berusia lanjut.

A.5. Fase Kelima Wali Songo
Dalam fase ini, masuklah Sunan Muria atau Raden Umar Said, putra Sunan Kalijaga menggantikan wali yang telah wafat. Konon Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang itu adalah salah satu anggota Walisongo, namun karena Siti Jenar di kemudian hari mengajarkan ajaran yang menimbulkan keresahan umat dan mengabaikan syariat agama maka Siti Jenar dihukum mati. Selanjutnya kedudukan Siti Jenar digantikan oleh Sunan Bayat – bekas Adipati Semarang (Ki Pandanarang) yang telah menjadi murid Sunan Kalijaga.

B. MAULANA MALIK IBRAHIM
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi. Maulana Malik Ibrahim kadang juga di sebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand.

Maulana Jumadil Kubro di yakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw. Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya di sertai beberapa orang. Daerah yang di tujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik. Aktivitas pertama yang di lakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung.

Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya. Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah (kasta yang di sisihkan dalam Hindu). Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah di landa krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur

C. SUNAN AMPEL
Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, di identikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang). Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya. Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat.

Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak di dirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M. Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian di sebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura. Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dialah yang mengenalkan istilah "Mo Limo" (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk "tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzinah." Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan di makamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.

D. SUNAN GIRI
Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang di kaitkan dengan masa kecilnya yang pernah di buang oleh keluarga ibunya, seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma) Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua.

Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai. Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah "giri". Maka ia dijuluki Sunan Giri. Pesantrennya tak hanya di pergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang di sebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata. Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu.

Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa. Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, di kenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18. Para santri pesantren Giri juga di kenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan,

Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau. Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.

E. SUNAN BONANG
Sunan Bonang adalah anak dari Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban. Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha. Ia kemudian menetap di Bonang (desa kecil di Lasem, Jawa Tengah) sekitar 15 kilometer timur kota Rembang.

Di desa itu ia membangun tempat pesujudan / zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit. Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban. Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.

Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat 'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga. Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah "Suluk Wijil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut.

Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri. Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang. Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan 'isbah (peneguhan).

F. SUNAN DRAJAT
Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M. Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog (pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang). Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.

Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah "berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang'. Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.

F. SUNAN GUNUNG JATI
Banyak kisah tak masuk akal yang di kaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra' Mi'raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah di perkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa.

Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga di kenal sebagai Kasultanan Pakungwati. Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan. Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas.

Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah. ersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten. Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.

H. SUNAN MURIA
Ia putra Dewi Saroh, adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus. Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.

Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya. Sunan Muria seringkali di jadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530). Ia di kenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat di terima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.

I. SUNAN KUDUS
Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang. Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus.

Itu sebabnya para wali yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh menunjuknya. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang di lakukan Sunan Kudus. Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya.

Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang di beri nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti "sapi betina". Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.

Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut di susunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya. Bukan hanya berdakwah seperti itu yang di lakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.

J. SUNAN KALIJAGA
Dialah wali yang namanya paling banyak di sebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam. Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya. Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati.

Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam ('kungkum') di sungai (kali) atau "jaga kali". Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab "qadli dzaqa" yang menunjuk statusnya sebagai "penghulu suci" kesultanan. Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senopati.

Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga. Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika di serang pendiriannya.

Maka mereka harus di dekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah.

Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid di yakini sebagai karya Sunan Kalijaga. Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan Kalijaga di makamkan di Kadilangu selatan Demak.

Demikian sejarah perkembangan masuknya agama Islam di pulau Jawa sehingga memasuki jaman ke emasannya dan sekarang menjadi agama mayoritas penduduk di negeri kita tercinta Indonesia.

Zaman Raja-raja di Indonesia


Dalam tulisan ini sengaja saya mengulas beberapa kerajaan besar yang pernah ada di Indonesia, ini tak lain karena berkaitan erat dengan peninggalan-peninggalan ataupun situs-situs yang menjadi tempat objek wisata sekarang yang banyak di kunjungi oleh para wisatawan, semoga dengan sedikit ulasan ini para wisatawan dapat mengetahui asal mulanya dari mana peninggalan atau situs-situs tersebut. Banyak manfaat dan baik untuk pengetahuan dan pendidikan, jadi sambil berwisata kita juga bisa sambil menambah ilmu dan wawasan. Saya akan mengupas sedikit tentang beberapa kerajaan di Indonesia yang memberikan kontribusi yang berarti terhadap devisa negara Indonesia lewat candi-candi yang megah dan situs-situs purbakala.

Candi Borobudur
Di mulai pada abad ke 2 Masehi, sejumlah peradaban yang sangat canggih muncul di Asia Tenggara-peradaban tentang sastra, arsitektur dan organisasi politik yang semuanya berpola pada model India. Kerajaan-kerajaan ini yang terbaik di kenal dengan peninggalan-peninggalan indah yang mereka ciptakan seperti Borobudur, Prambanan, Angkor, Pagan dan lain-lain, banyak yang "di temukan kembali" pada abad ke-19, dan kini telah di kunjungi oleh jutaan wisatawan baik dalam negeri maupun manca negara.


KERAJAAN PERTAMA DAN TERTUA DI INDONESIA
Kerajaan Kutai merupakan kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Kerajaan Kutai di perkirakan muncul pada abad 5 M atau ± 400 M. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur (dekat kota Tenggarong), tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai di ambil dari nama tempat di temukannya prasasti yang menggambarkan kerajaan tersebut. Nama Kutai di berikan oleh para ahli karena tidak ada prasasti yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini. Karena memang sangat sedikit informasi yang dapat di peroleh akibat kurangnya sumber sejarah.

Keberadaan kerajaan tersebut di ketahui berdasarkan sumber berita yang di temukan yaitu berupa prasasti yang berbentuk yupa / tiang batu berjumlah 7 buah. Yupa yang menggunakan huruf Pallawa dan bahasa sansekerta tersebut, dapat di simpulkan tentang keberadaan Kerajaan Kutai dalam berbagai aspek kebudayaan, antara lain politik, sosial, ekonomi, dan budaya.

Prasasti Yupa
Adapun isi prasasti tersebut menyatakan bahwa raja pertama Kerajaan Kutai bernama Kudungga. Ia mempunyai seorang putra bernama Asawarman yang disebut sebagai wamsakerta (pembentuk keluarga). Setelah meninggal, Asawarman di gantikan oleh Mulawarman. Penggunaan nama Asawarman dan nama-nama raja pada generasi berikutnya menunjukkan telah masuknya pengaruh ajaran Hindu dalam Kerajaan Kutai dan hal tersebut membuktikan bahwa raja-raja Kutai adalah orang Indonesia asli yang telah memeluk agama Hindu.

Mulawarman
Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila di lihat dari cara penulisannya. Kundungga adalah pembesar dari Kerajaan Campa (Kamboja) yang datang ke Indonesia. Kundungga sendiri diduga belum menganut agama Budha.

Aswawarman
Aswawarman mungkin adalah raja pertama Kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia juga di ketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga di beri gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki 3 orang putera, dan salah satunya adalah Mulawarman. Putra Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa di ketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur. Kerajaan Kutai seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar karena kurangnya komunikasi dengan pihak asing, hingga sangat sedikit yang mendengar namanya.

Berikut adalah Nama-Nama Raja Kutai:
1. Maharaja Kundungga, gelar anumerta Dewawarman
2. Maharaja Asmawarman (anak Kundungga)
3. Maharaja Mulawarman
4. Maharaja Marawijaya Warman
5. Maharaja Gajayana Warman
6. Maharaja Tungga Warman
7. Maharaja Jayanaga Warman
8. Maharaja Nalasinga Warman
9. Maharaja Nala Parana Tungga
10. Maharaja Gadingga Warman Dewa
11. Maharaja Indra Warman Dewa
12. Maharaja Sangga Warman Dewa
13. Maharaja Candrawarman
14. Maharaja Sri Langka Dewa
15. Maharaja Guna Parana Dewa
16. Maharaja Wijaya Warman
17. Maharaja Sri Aji Dewa
18. Maharaja Mulia Putera
19. Maharaja Nala Pandita
20. Maharaja Indra Paruta Dewa
21. Maharaja Dharma Setia

RUNTUHNYA KERAJAAN KUTAI
Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura) berbeda dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang ibukotanya pertama kali berada di Kutai Lama (Tanjung Kute). Kutai Kartanegara inilah, di tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam yang di sebut Kesultanan Kutai Kartanegara.

Pengetahuan tentang kerajaan Indonesia awal periode Klasik atau Hindu sangat gelap-catatan sejarah tentang kerajaan tertua ini hanya di peroleh dari prasasti batu tua dan referensi samar dalam teks-teks Cina, India dan klasik kuno. Pulau Jawa, misalnya, di sebutkan dalam Ramayana (sebagai Yawadwipa) dan dalam Almagest dari Ptolemeus (sebagai Yabadiou). Sebagaimana pernah di dapat, referensi spesifik pertama untuk penguasa Indonesia dan kerajaan yang di temukan dalam sumber-sumber Cina tertulis dan batu prasasti sansekerta berasal dari abad ke-5 awal.

Candi Pawon
Prasasti batu (di tulis dalam naskah Pallawa selatan-India), yang di keluarkan oleh penguasa Indonesia di dua daerah yang berbeda di kepulauan-Kutai di pantai timur Kalimantan, dan Tarumanegara di Sungai Citarum di Jawa Barat (dekat Bogor). Kedua penguasa Hindu itu kekuasaannya tampaknya berasal dari kombinasi pertanian padi dan perdagangan maritim.

Juga, di awal abad ke-5, ada sosok menarik dari Fa Hsien, seorang biksu Buddha Tionghoa yang melakukan perjalanan ke India untuk mendapatkan kitab-kitab Buddha dan kemudian terdampar di Jawa dalam perjalanan pulang. Dalam catatannya (di terjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh James Legge sebagai,A Record of Buddhistic Kingdoms), Fa Hsien mencatat bahwa ada banyak Brahamans dan bidat di Jawa, tetapi bahwa Dharma Buddha ada tidak di sebutkan dalam catatanya.

Fakta lain kehidupan bagi negara Hindu dari Indonesia adalah bahwa kekuasaan mereka sangat bergantung pada kontrol perdagangan maritim. Tampaknya Tarumanegara di Jawa Barat yang pertama menguasai perdagangan selama dua abad atau lebih, tetapi pada akhir abad ke-7 kerajaan Buddha baru yang berbasis di Palembang mengambil alih Malaka dan Selat Sunda Vital. Kerajaan Sriwijaya memerintah sepanjang 600 tahun ke depan.

SRIWIJAYA/SRIVIJAVA
Sriwijaya atau di sebut juga Srivijaya adalah Kerajaan Maritim yang sangat kuat di nusantara pada masanya, daerah kekuasaannya membentang dari Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Keren banget yah nenek moyang kita, padahal jaman dulu belum ada pesawat, handphone atau kapal yang canggih seperti jaman sekarang, tapi bisa luas begitu kekuasaannya, gimana cara mengontrolnya?Luar biasa, saya sendiri bingung bagaimana bisa mengontrol dan berkomunikasi dengan daerah-daerah jajahannya.

Prasasti Telaga Batu
Nama Sriwijaya dalam bahasa Sansakerta mempunyai arti, Sri artinya "bercahaya" dan wijaya berarti "kemenangan". Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke 7, seorang pendeta dari Tiongkok, I-Tsing menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671 Masehi dan tinggal selama 6 bulan. Di sana ia menemukan seribu biksu Budha dan mencatat bahwa itu adalah tempat pertemuan bagi para pedagang dari seluruh dunia.

Prasasti Kedukan Bukit
Sriwijaya di sebut dalam berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali, kerajaan Sriwijaya di sebut juga Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit di temukan. Sementara dari peta Ptolemaeus di temukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.

Raja-raja Sriwijaya yang pernah berkuasa antara lain:
1.Dapunta Hyang atau Sri Jayanasa (671 M).
Berdasarkan Catatan perjalanan I-Tsing di tahun 671-685 M, Penaklukan Malayu, penaklukan Jawa. Prasasti Kedukan Bukit (683 M), Talang Tuo (684 M), Kota Kapur (686 M), Karang Brahi dan Palas Pasemah. Ibu kota di Srivijaya atau Shih-li-fo-shih.

2.Sri Indrawarman atau Shih-li-t-'o-pa-mo (702 M).
Berdasarkan Utusan ke Tiongkok 702-716 M, 724 M. Utusan ke Khalifah Muawiyah I dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ibu kota di Srivijaya atau Shih-li-fo-shih.

3.Rudra Vikraman atau Lieou-t’eng-wei-kong (728 M).
Berdasarkan utusan ke Tiongkok 728-742 M. Ibu kota di Srivijaya atau Shih-li-fo-shih.

4.Sri Maharaja (775 M).
Berdasarkan prasasti Ligor B (775 M) di Nakhon Si Thammarat, selatan Thailand. Ibu kota di Sriwijaya.

5.Balaputradewa (856 M).
Kehilangan kekuasaan di Jawa dan kembali ke Suwarnadwipa. Berdasarkan prasasti Nalanda (860 M)

6.Sri Udayaditya Warmadewa atau Se-li-hou-ta-hia-li-tan (960 M).
Berdasarkan utusan ke Tiongkok tahun 960 M dan 962 M. Ibukota di Sriwijaya atau San-fo-ts’i

7.Sri Cudamani Warmadewa atau Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa (988 M).
Berdasarkan catatan Atisa 990 Jawa menyerang Sriwijaya, utusan ke Tiongkok tahun 988 M, 992 M, 1003 M, pembangunan candi untuk kaisar Cina yang di beri nama cheng tien wan shou. Ibu kota di Malayagiri (Suwarnadwipa)

8.Sri Mara-Vijayottunggawarman atau Se-li-ma-la-pi (1008 M).
Berdasarkan prasasti Leiden dan utusan ke Tiongkok tahun 1008 M. Ibu kota di Kataha atau San-fo-ts’i

9.Sangrama-Vijayotunggawarman (1025 M).
Diserang oleh Rajendra Chola I dan menjadi tawanan. Berdasarkan prasasti Tanjore bertahunkan 1030 pada candi Rajaraja, Tanjore, India.

10.Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa (1183 M).
Dibwah dinasti Mauli, kerajaan melayu. Berdasarkan prasasti Grahi tahun 1183 M di selatan Thailand.

Raja-raja di atas bukanlah dalam urutan yang pasti hal ini di karenakan terbatasnya peninggalan-peninggalan yang ada sehingga pada tahun-tahun tertentu belum diketahui secara pasti siapa raja yang berkuasa.

Prasasti Padang Roco
di bawah arca Amogaphasa
Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan tanah Arab, kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718 M kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 M mengirimkan hadiah buat kaisar Cina, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).

Pada paruh pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guang Dong. Tak di ragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan besar adalah:
1.Letaknya yang strategis di jalur perdagangan.
2.Kemajuan pelayaran dan perdagangan antara cina dan india melalui Asia Tenggara.
3.Runtuhnya kerajaan Funan di Indochina, dengan begitu memberikan kesempatan kepada Sriwijaya untuk berkembang menjadi negara maritim menggantikan Funan.
4.Sriwijaya mempunyai kemampuan untuk melindungi pelayaran dan perdagangan di perairan Asia Tenggara.

Prasasti Grahi
Prof O.W. Wolters telah berspekulasi bahwa Sriwijaya menjadi terkenal sebagai hasil dari substitusi dari beberapa aromatik Sumatera untuk ekspansif Timur Tengah berupa kemenyan dan mur-yang di sebut-barang persia, kemudian di kirim ke Cina dalam jumlah besar. Tapi itu mungkin karena Sriwijaya juga terletak di posisi yang sangat strategis dan di katakan telah mengembangkan kapal besar antara 400 dan 600 ton. Ini adalah kapal terbesar pada masanya, dan mereka tampaknya telah mencapai penjualan regular langsung ke India Dan Cina oleh setidaknya akhir abad ke-8.

KERAJAAN SANJAYA
Wangsa Sanjaya adalah wangsa atau dinasti yang sebagian besar rajanya menganut agama Hindu, yang di kenal sebagai pendiri Kerajaan Medang (Mataram Kuno). Wangsa ini menganut agama Hindu aliran Siwa, dan berkiblat ke Kunjaradari di daerah India. Menurut Prasasti Canggal, wangsa ini di dirikan pada tahun 732 M oleh Sanjaya. Tak banyak yang di ketahui pada masa-masa awal Wangsa Sanjaya.

Para Sailendras mempertahankan hubungan dekatnya dengan Sriwijaya (baik penguasa penganut agama Budha) dan memerintah Jawa selama sekitar 100 tahun. Selama periode yang relatif singkat mereka membangun peninggalan-peninggalan yang megah seperti candi Borobudur, Mendut, Kalasan, Sewu dan banyak lainnya.

Raja-raja wangsa Sanjaya adalah:
1. Ratu Sanjaya.
Ratu Sanjaya alias Rakai Mataram menempati urutan pertama dalam daftar para raja Kerajaan Medang versi prasasti Mantyasih, yaitu prasasti yang di keluarkan oleh Maharaja Dyah Balitung tahun 907. Bukti-bukti peninggalan Sanjaya terdapat di  prasasti Canggal tanggal 6 Oktober 732 tentang pendirian sebuah lingga serta bangunan candi untuk memuja Siwa di atas sebuah bukit. Candi tersebut kini hanya tinggal puing-puing reruntuhannya saja, yang di temukan di atas Gunung Wukir, dekat Kedu.

2. Rakai Pikatan.
Rakai Pikatan, yang waktu itu menjadi pangeran Wangsa Sanjaya, menikah dengan Pramodhawardhani (833-856 M), puteri raja Wangsa Syailendara Samaratungga. Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di Mataram, menggantikan Agama Buddha. Rakai Pikatan bahkan mendepak Raja Balaputradewa, dan pada tahun 850 M, Wangsa Sanjaya kembali menjadi satu-satunya penguasa Mataram. Prasasti Wantil disebut juga prasasti Siwagreha yang di keluarkan pada tanggal 12 November 856 M. Prasasti ini selain menyebut pendirian istana Mamratipura, juga menyebut tentang pendirian bangunan suci Siwagreha, yang di terjemahkan sebagai Candi Siwa.

Berdasarkan ciri-ciri yang di gambarkan dalam prasasti tersebut, Candi Siwa identik dengan salah satu candi utama pada komplek Candi Prambanan. Dengan demikian, bangunan utama pada komplek tersebut di bangun oleh Rakai Pikatan, sedangkan candi-candi kecil lainnya mungkin dibangun pada masa raja-raja selanjutnya.

Prasasti Canggal juga mengisahkan bahwa, sebelum Sanjaya bertakhta sudah ada raja lain bernama Sanna yang memerintah Pulau Jawa dengan adil dan bijaksana. Sepeninggal Sanna keadaan menjadi kacau. Sanjaya putra Sannaha (saudara perempuan Sanna) kemudian tampil sebagai raja. Pulau Jawa pun tentram kembali.

3. Rakai Kayuwangi.
Sebenarnya kurang tepat apabila Rakai Kayuwangi di sebut sebagai raja Kerajaan Mataram karena menurut prasasti Wantil, saat itu istana Kerajaan Medang tidak lagi berada di daerah Mataram, melainkan sudah di pindahkan oleh Rakai Pikatan (raja sebelumnya) ke daerah Mamrati, dan di beri nama Mamratipura.

Rakai Kayuwangi adalah putra bungsu Rakai Pikatan yang lahir dari permaisuri Pramodawardhani. Nama aslinya adalah Dyah Lokapala (prasasti Wantil) atau Mpu Lokapala (prasasti Argapura). Menurut prasasti Wantil atau prasasti Siwagerha tanggal 12 November 856, Dyah Lokapala naik takhta menggantikan ayahnya, yaitu Sang Jatiningrat (gelar Rakai Pikatan sebagai brahmana). Pengangkatan putra bungsu sebagai raja ini di dasarkan pada jasa kepahlawanan Dyah Lokapala dalam menumpas musuh ayahnya, yang bermarkas di timbunan batu di atas bukit Ratu Baka.

Teori populer menyebut nama musuh tersebut adalah Balaputradewa karena pada prasasti Wantil terdapat istilah walaputra. Namun, sejarawan Buchari tidak menjumpai prasasti atas nama Balaputradewa pada situs bukit Ratu Baka, melainkan atas nama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni. Adapun makna istilah walaputra adalah putra bungsu, yaitu julukan untuk Dyah Lokapala yang berhasil menumpas musuh ayahnya tersebut.

Jadi, pada akhir pemerintahan Rakai Pikatan terjadi pemberontakan Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni yang mengaku sebagai keturunan pendiri Wangsa Sanjaya. Pemberontakan tersebut berhasil ditumpas oleh Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala alias Sang Walaputra, sehingga ia mendapat dukungan rakyat untuk naik takhta menggantikan ayahnya. Teori pemberontakan Rakai Walaing ini telah membantah teori populer tentang adanya perang saudara antara Balaputradewa melawan Pramodawardhani dan Rakai Pikatan sepeninggal Samarottungga.

4. Rakai Watuhumalang.
Menurut daftar para raja Kerajaan Medang dalam prasasti Mantyasih, Rakai Watuhumalang menjadi raja kedelapan menggantikan Rakai Kayuwangi. Prasasti tersebut dikeluarkan tahun 907 M oleh Dyah Balitung, yaitu raja sesudah Rakai Watuhumalang. Rakai Watuhumalang sendiri tidak meninggalkan prasasti atas nama dirinya. Sementara itu prasasti Panunggalan tanggal 19 November 896 M menyebut adanya tokoh bernama Sang Watuhumalang Mpu Teguh, namun tidak bergelar maharaja, melainkan hanya bergelar haji (raja bawahan).

Tidak dapat di pastikan apakah Mpu Teguh identik dengan Rakai Watuhumalang. Apabila keduanya benar-benar tokoh yang sama, maka dapat dibayangkan bahwa masa pemerintahan Rakai Watuhumalamg sangat singkat. Pada tahun 896 M ia masih menjadi raja bawahan, sedangkan pada tahun 899 (prasasti Telahap) yang menjadi raja sudah bernama Dyah Balitung.

5. Rakai Watukura Dyah Balitung.
Dyah Balitung berhasil naik takhta karena menikahi putri raja sebelumnya. Kemungkinan besar raja tersebut adalah Rakai Watuhumalang yang menurut prasasti Mantyasih memerintah sebelum Balitung. Mungkin alasan Dyah Balitung bisa naik takhta bukan hanya itu, mengingat raja sebelumnya ternyata juga memiliki putra bernama Mpu Daksa (prasasti Telahap). Alasan lain yang menunjang ialah keadaan Kerajaan Medang sepeninggal Rakai Kayuwangi mengalami perpecahan, yaitu dengan ditemukannya prasasti Munggu Antan atas nama Maharaja Rakai Gurunwangi dan prasasti Poh Dulur atas nama Rakai Limus Dyah Dewendra.

Jadi, kemungkinan besar Dyah Balitung yang merupakan menantu Rakai Watuhumalang (raja Medang pengganti Rakai Kayuwangi) berhasil menjadi pahlawan dengan menaklukkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus sehingga kembali mengakui kekuasaan tunggal di Kerajaan Medang. Maka, sepeninggal Rakai Watuhumalang, rakyat pun memilih Balitung sebagai raja dari pada iparnya, yaitu Mpu Daksa. Pada masa pemerintahan Dyah Balitung, istana Kerajaan Medang tidak lagi berada di daerah Mataram, ataupun Mamrati, melainkan sudah di pindahkan ke daerah Poh Pitu yang di beri nama Yawapura.

Hal ini di mungkinkan karena istana Mamratipura (yang dulu dibangun oleh Rakai Pikatan) telah rusak akibat perang saudara antara Rakai Kayuwangi melawan Rakai Gurunwangi. Prasasti tertua atas nama Balitung yang berhasil di temukan adalah prasasti Telahap tanggal 11 September 899 M. Namun bukan berarti ini adalah prasasti pertamanya, atau dengan kata lain, bisa jadi Balitung sudah naik takhta sebelum tahun 899 M.

Di susul kemudian prasasti Watukura tanggal 27 Juli 902 M. Prasasti tersebut adalah prasasti tertua yang menyebutkan adanya jabatan Rakryan Kanuruhan, yaitu semacam jabatan perdana menteri. Sementara itu jabatan Rakryan Mapatih pada zaman Balitung merupakan jabatan putra mahkota yang dipegang oleh Mpu Daksa.

Prasasti Telang tanggal 11 Januari 904 M berisi tentang pembangunan komplek penyeberangan bernama Paparahuan yang di pimpin oleh Rakai Welar Mpu Sudarsana di tepi Bengawan Solo. Balitung membebaskan pajak desa-desa sekitar Paparahuan dan melarang para penduduknya untuk memungut upah dari para penyeberang.

Prasasti Poh tanggal 17 Juli 905 M berisi pembebasan pajak desa Poh untuk ditugasi mengelola bangunan suci Sang Hyang Caitya dan Silunglung peninggalan raja sebelumnya yang di makamkan di Pastika, yaitu Rakai Pikatan. Raja ini merupakan kakek dari Mpu Daksa dan permaisuri Balitung. Prasasti Kubu-Kubu tanggal 17 Oktober 905 M berisi anugerah desa Kubu-Kubu kepada Rakryan Hujung Dyah Mangarak dan Rakryan Matuha Dyah Majawuntan karena keduanya berjasa memimpin penaklukan daerah Bantan. Beberapa sejarawan menafsirkan Bantan sebagai nama lain dari Bali. Istilah Bantan artinya korban, sedangkan Bali artinya persembahan.

Prasasti Mantyasih tanggal 11 April 907 M berisi tentang anugerah kepada lima orang patih bawahan yang berjasa dalam menjaga keamanan saat pernikahan Dyah Balitung. Dalam prasasti ini di sebutkan pula urutan raja-raja Medang yang memerintah sebelum dirinya. Pada tahun 907 M tersebut Balitung juga memberikan desa Rukam sebagai hadiah untuk neneknya yang bernama Rakryan Sanjiwana dengan tugas merawat bangunan suci di Limwung.

6. Mpu Daksa.
Mpu Daksa naik takhta menggantikan Dyah Balitung yang merupakan saudara iparnya. Hubungan kekerabatan ini berdasarkan bukti bahwa Daksa sering disebut namanya bersamaan dengan istri Balitung dalam beberapa prasasti. Selain itu juga diperkuat dengan analisis sejarawan Boechari terhadap berita Cina dari Dinasti Tang berbunyi Tat So Kan Hiung, yang artinya "Daksa, saudara raja yang gagah berani".

Dyah Balitung di perkirakan naik takhta karena menikahi putri raja sebelumnya, sehingga secara otomatis Mpu Daksa pun disebut sebagai putra raja tersebut. Kemungkinan besar raja itu ialah Rakai Watuhumalang yang memerintah sebelum Balitung menurut prasasti Mantyasih. Menurut prasasti Telahap, Mpu Daksa adalah cucu dari Rakryan Watan Mpu Tamer, yang merupakan seorang istri raja yang di makamkan di Pastika, yaitu Rakai Pikatan. Dengan demikian, Daksa dapat disebut sebagai cucu dari Rakai Pikatan. Prasasti Plaosan yang di keluarkan oleh Rakai Pikatan juga menyebut adanya tokoh bernama Sang Kalungwarak Mpu Daksa.

7. Rakai Layang Dyah Tulodhong.
Dyah Tulodhong di anggap naik takhta menggantikan Mpu Daksa. Dalam prasasti Ritihang yang di keluarkan oleh Mpu Daksa terdapat tokoh Rakryan Layang namun nama aslinya tidak terbaca. Di tinjau dari ciri-cirinya, tokoh Rakryan Layang ini seorang wanita berkedudukan tinggi, jadi tidak mungkin sama dengan Dyah Tulodhong. Mungkin Rakryan Layang adalah putri Mpu Daksa. Dyah Tulodhong berhasil menikahinya sehingga ia pun ikut mendapatkan gelar Rakai Layang, bahkan naik takhta menggantikan mertuanya, yaitu Mpu Daksa.

Dalam prasasti Lintakan Dyah Tulodhong disebut sebagai putra dari seseorang yang dimakamkan di Turu Mangambil. Prasasti Lintakan tanggal 12 Juli 919 M adalah prasasti tertua yang pernah di temukan dengan menyebut Tulodhong sebagai raja. Dalam pemerintahannya, yang menduduki jabatan Rakryan Mapatih Hino bernama Mpu Ketuwijaya yang juga bergelar Sri Ketudhara Manimantaprabha Prabhusakti. Sedangkan yang menjabat Rakryan Halu adalah Mpu Sindok.

Prasasti Harinjing Tanggal 19 September 921 M berisi pengukuhan anugerah untuk anak-anak Bhagawanta Bhari yang berjumlah 12 orang dan tersebar di mana-mana. Bhagawanta Bhari adalah tokoh yang berjasa membangun bendungan pencegah banjir. Ia sendiri telah mendapat anugerah dari raja sebelumnya. Prasasti untuk anak-anak Bhagawanta Bhari diperbaharui lagi pada tanggal 7 Maret 927 M, di mana mereka mendapatkan desa Culanggi sebagai sima swatantra (daerah bebas pajak). Pembaharuan tersebut di lakukan oleh Rakai Hino Mpu Ketuwijaya, atas saran dari Rakai Sumba yang menjabat sebagai Sang Pamgat Momahumah.

8. Rakai Sumba Dyah Wawa.
Dyah Wawa naik takhta menggantikan Dyah Tulodhong. Nama Rakai Sumba tercatat dalam prasasti Culanggi tanggal 7 Maret 927, menjabat menjabat sebagai Sang Pamgat Momahumah, yaitu semacam pegawai pengadilan. Selain bergelar Rakai Sumba, Dyah Wawa juga bergelar Rakai Pangkaja. Dyah Wawa tidak memiliki hak atas takhta Dyah Tulodhong. Sejarawan Boechari berpendapat bahwa Dyah Wawa melakukan kudeta merebut takhta Kerajaan Medang.

Kemungkinan besar kudeta yang di lakukan oleh Dyah Wawa mendapat bantuan dari Mpu Sindok, yang naik pangkat menjadi Rakryan Mapatih Hino. Sebelumnya, yaitu pada masa pemerintahan Dyah Tulodhong, Mpu Sindok menjabat sebagai Rakryan Halu, sedangkan Rakai Hino dijabat oleh Mpu Ketuwijaya. Peninggalan sejarah Dyah Wawa berupa prasasti Sangguran tanggal 2 Agustus 928 M tentang penetapan desa Sangguran sebagai sima swatantra (daerah bebas pajak) agar penduduknya ikut serta merawat bangunan suci di daerah Kajurugusalyan.

KERAJAAN SINGASARI
Kerajaan Singasari adalah sebuah kerajaan Hindu Buddha di Jawa Timur yang di dirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222 M. Lokasi kerajaan ini sekarang di perkirakan di daerah Singosari, Malang. Kerajaan Singasari hanya sempat bertahan 70 tahun sebelum mengalami keruntuhan. Kerajaan ini beribu kota di Tumapel yang terletak di kawasan bernama Kutaraja. Pada awalnya, Tumapel hanyalah sebuah wilayah kabupaten yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Kadiri dengan bupati bernama Tunggul Ametung. Tunggul Ametung di bunuh oleh Ken Arok yang merupakan pengawalnya.

Keberadaan Kerajaan Singosari di buktikan melalui candi-candi yang banyak di temukan di Jawa Timur yaitu daerah Singosari sampai Malang, juga melalui kitab sastra peninggalan zaman Majapahit yang berjudul Negarakertagama karangan Mpu Prapanca yang menjelaskan tentang raja-raja yang memerintah di Singosari serta kitab Pararaton yang juga menceritakan riwayat Ken Arok yang penuh keajaiban.

Patung Ken Dedes istri dari Ken Arok
Kitab Pararaton isinya sebagian besar adalah mitos atau dongeng tetapi dari kitab Pararatonlah asal usul Ken Arok menjadi raja dapat di ketahui. Sebelum menjadi raja, Ken Arok berkedudukan sebagai Akuwu (Bupati) di Tumapel menggantikan Tunggul Ametung yang di bunuhnya, karena tertarik pada Ken Dedes istri Tunggul Ametung. Selanjutnya ia berkeinginan melepaskan Tumapel dari kekuasaan kerajaan Kadiri yang di perintah oleh Kertajaya.

Keinginannya terpenuhi setelah kaum Brahmana Kadiri meminta perlindungannya. Dengan alasan tersebut, maka tahun 1222 M /1144 C Ken Arok menyerang Kediri, sehingga Kertajaya mengalami kekalahan pada pertempuran di desa Ganter. Ken Arok yang mengangkat dirinya sebagai raja Tumapel bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi.

Beberapa raja yang memerintah Kerajaan Singasari di antaranya :
1. Ken Arok (1222–1227 M).
Pendiri Kerajaan Singasari adalah Ken Arok yang sekaligus juga menjadi Raja Singasari yang pertama dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi. Munculnya Ken Arok sebagai raja pertama Singasari menandai munculnya suatu dinasti baru, yakni Dinasti Rajasa (Rajasawangsa) atau Girindra (Girindrawangsa). Ken Arok hanya memerintah selama lima tahun (1222–1227 M). Pada tahun 1227 M, Ken Arok dibunuh oleh seorang suruhan Anusapati (anak tiri Ken Arok). Ken Arok di makamkan di Kegenengan dalam bangunan Siwa–Buddha.

2. Anusapati (1227–1248 M).
Dengan meninggalnya Ken Arok maka takhta Kerajaan Singasari jatuh ke tangan Anusapati. Dalam jangka waktu pemerintahaannya yang lama, Anusapati tidak banyak melakukan pembaharuan-pembaharuan karena larut dengan kesenangannya menyabung ayam. Peristiwa kematian Ken Arok akhirnya terbongkar dan sampai juga ke Tohjoyo (putra Ken Arok dengan Ken Umang). Tohjoyo mengetahui bahwa Anusapati gemar menyabung ayam sehingga diundangnya Anusapati ke Gedong Jiwa (tempat kediamanan Tohjoyo) untuk mengadakan pesta sabung ayam. Pada saat Anusapati asyik menyaksikan aduan ayamnya, secara tiba-tiba Tohjoyo menyabut keris buatan Empu Gandring yang dibawanya dan langsung menusuk Anusapati. Dengan demikian, meninggallah Anusapati yang didharmakan di Candi Kidal.

3. Tohjoyo (1248 M).
Dengan meninggalnya Anusapati maka tahta Kerajaan Singasari dipegang oleh Tohjoyo. Namun, Tohjoyo memerintah Kerajaan Singasari tidak lama sebab anak Anusapati yang bernama Ranggawuni berusaha membalas kematian ayahnya. Dengan bantuan Mahesa Cempaka dan para pengikutnya, Ranggawuni berhasil menggulingkan Tohjoyo dan kemudian menduduki singgasana.

4. Ranggawuni (1248–1268 M).
Ranggawuni naik takhta Kerajaan Singasari pada tahun 1248 M dengan gelar Sri Jaya Wisnuwardana oleh Mahesa Cempaka (anak dari Mahesa Wongateleng) yang diberi kedudukan sebagai ratu angabhaya dengan gelar Narasinghamurti. Ppemerintahan Ranggawuni membawa ketenteraman dan kesejahteran rakyat Singasari. Pada tahun 1254 M Wisnuwardana mengangkat putranya yang bernama Kertanegara sebagai yuwaraja (raja muda) dengan maksud mempersiapkannya menjadi raja besar di Kerajaan Singasari. Pada tahun 1268 Wisnuwardanameninggal dunia dan didharmakan di Jajaghu atau Candi Jago sebagai Buddha Amogapasa dan di Candi Waleri sebagai Siwa.

5. Kertanegara (1268-1292 M).
Kertanegara adalah Raja Singasari terakhir dan terbesar karena mempunyai cita-cita untuk menyatukan seluruh Nusantara. Ia naik takhta pada tahun 1268 dengan gelar Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara. Dalam pemerintahannya, ia di bantu oleh tiga orang mahamentri, yaitu mahamentri i hino, mahamentri i halu, dan mahamenteri i sirikan. Untuk dapat mewujudkan gagasan penyatuan Nusantara, ia mengganti pejabat-pejabat yang kolot dengan yang baru, seperti Patih Raganata digantikan oleh Patih Aragani. Banyak Wide dijadikan Bupati di Sumenep (Madura) dengan gelar Aria Wiaraja. Setelah Jawa dapat di selesaikan, kemudian perhatian di tujukan ke daerah lain. Kertanegara mengirimkan utusan ke Melayu yang di kenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu 1275 yang berhasil menguasai Kerajaan Melayu. Hal ini di tandai dengan pengirimkan Arca Amoghapasa ke Dharmasraya atas perintah Raja Kertanegara.

Candi Kidal
Berdasarkan segi budaya, di temukan candi-candi dan patung-patung diantaranya candi Kidal, candi Jago, dan candi Singasari. Sedangkan patung-patung yang di temukan adalah patung Ken Dedes sebagai Dewa Prajnaparamita lambing kesempurnaan ilmu, patung Kertanegara dalam wujud patung Joko Dolog, dan patung Amoghapasa juga merupakan perwujudan Kertanegara (kedua patung kertanegara baik patung Joko Dolog maupun Amoghapasa menyatakan bahwa Kertanegara menganut agama Buddha beraliran Tantrayana).

KEMULIAAN MAJAPAHIT
Majapahit adalah kerajaan pertama yang benar-benar mencakup seluruh kepulauan Indonesia. Kemudian penguasa Jawa, kuno dan modern, selalu memandang kerajaan ini sebagai pendahulu mereka dalam spiritual dan politik. Majapahit mencapai puncaknya pada pertengahan abad ke-14 di bawah kekuasaan Wijaya cucu Hayam Wuruk (di sebut juga Rajasanagara) dengan perdana menterinya yang terkenal bernama Patih Gajah Mada.

Pengetahuan Majapahit berasal dari sebagian prasasti batu yang di temukan di antara ratusan reruntuhan candi, dan dari puisi yang berisi pujian yang di tulis oleh pengadilan penyair Prapanca setelah kematian Gajah Mada pada tahun 1365. Ini berikutnya, yang di kenal sebagai Negarakertagama, mencatat semua jenis rincian menarik tentang pengadilan dan keluarga kerajaan.

Salah satu bagian yang paling penting menyangkut sumpah diambil oleh Gajah Mada (yang disebut sumpah palapa) untuk membawa semua pulau-pulau utama Nusantara (Nusantara atau "pulau-pulau lain"), di bawah kendali Majapahit. Hal ini di katakan oleh Gajah Mada, namun sejarawan merasa bahwa penaklukan Nusantara benar-benar terlibat semacam federasi perdagangan dengan Majapahit sebagai mitra yang dominan.

Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Borneo, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian kepulauan Filipina.

Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin di akibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok.

1. Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 - 1309)
2. Kalagamet, bergelar Sri Jayanagara (1309 - 1328)
3. Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 - 1350)
4. Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 - 1389)
5. Wikramawardhana (1389 - 1429)
6. Suhita (1429 - 1447)
7. Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 - 1451)
8. Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 - 1453)
9. Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 - 1466)
10. Bhre Pandansalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 - 1468)
11. Bhre Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 - 1478)
12. Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 - 1498)
13. Hudhara, bergelar Brawijaya VII (1498-1518)[24]

Candi Prambanan
Penurunan Majapahit di rasakan setelah kematian Hayam Wuruk pada tahun 1389. Dalam upaya sia-sia untuk mencegah konflik saudara tak terelakkan. Hayam Wuruk telah di bagi kerajaannya antara putra dan putrinya. Namun, perjuangan untuk supremasi meledak menjadi perang saudara antara 1.403 dan 1406 dan meskipun negara itu bersatu kembali pada tahun tahun1429. Tetapi Majapahit pada saat itu telah kehilangan kendali di bagian barat Laut Jawa dan selat Malaka dengan adanya kerajaan Islam yang baru. Menjelang akhir abad ke-15, Majapahit dan Kediri di taklukkan oleh kerajaan Islam yang baru yaitu di Demak di daerah Pantai Utara Jawa, dan di katakan dalam sejarah bahwa para penguasa Hindu-Jawa keseluruhan kemudian melarikan diri ke Bali.

Monday, October 29, 2012

Kekayaan Pra Sejarah Indonesia

Tak bisa di pungkiri banyaknya situs, peninggalan-peninggalan seperti tembikar, kapak batu, adat istiadat kebudayaan bangsa Indonesia adalah warisan leluhur dari nenek moyang terdahulu yang pernah hidup dan berkuasa di Indonesia, dan di antaranya juga ada peninggalan dari beberapa negara yang pernah menjajah di Indonesia, misalkan seperti bangsa Portugis dan Belanda, jadi ada baiknya sebelum kita mengenal lebih jauh tempat-tempat wisata yang bertebaran di Indonesia tercinta ini, mengenal lebih dahulu atau minimal tahu latar belakang cikal bakal dari mana asal mulanya peninggalan-peninggalan tersebut. Zaman Pra-Sejarah di Indonesia di bagi dalam 3 Zaman, yaitu :

1. ZAMAN PALEOLITHIKUM
Temuan arkeologi Indonesia telah memberikan kontribusi yang lebih untuk bisa mengetahui perabadan dan asal mulanya nenek moyang bangsa Indonesia. Pada tahun 1890, dokter militer Belanda dengan nama Eugene Dubois menemukan fosil tulang rahang primata di Jawa Tengah yang memiliki karakteristik khas manusia. Tulang rahangnya itu di temukan berkaitan dengan fosil spesies mamalia yang di perkirakan telah punah beberapa ratus ribu tahun yang lalu, dan pada awalnya oleh Dubois dikategorikan sebagai bagian dari spesies kera yang telah punah.

Tapi ketika di tahun berikutnya, ia menemukan dua fosil hominoid lebih, dalam kondisi yang serupa, ia menjadi yakin bahwa ia telah menemukan bukti pertama di dunia yang lama di cari para "missing link/mata rantai yang hilang" teori Darwin. Manusia Jawa (Homo erectus paleojavanicus) ini adalah jenis Homo erectus yang pertama kali di temukan.

Pada awal penemuan, makhluk mirip manusia ini di beri nama ilmiah Pithecanthropus erectus oleh Eugène Dubois, pemimpin tim yang berhasil menemukan fosil tengkoraknya di Trinily yang terletak di tebing Sungai Bengawan Solo, Jawa, Indonesia pada tahun 1891. Nama Pithecanthropus erectus sendiri berasal dari akar bahasa Yunani dan latin dan memiliki arti manusia-kera yang dapat berdiri.

Penemuan Dubois ini banyak di kecam oleh ahli-ahli agama karena dia memperkirakan phitecanthropus erectus itu adalah "Manusia Jawa" pertama dengan kata lain adalah mereka-mereka yang hidup di jawa sekarang adalah keturunan dari phitecanthropus erectus.

Akibat banyaknya kecaman terhadapnya, Dubois kemudian berhenti bekerja di bidang paleoantropologi. Dubois berhenti melakukan risetnya untuk beberapa lamanya tetapi lebih dari dua dekade kemudian, dengan di temukannya fosil serupa di luar Peking pada tahun 1921, bahwa riset yang ia lakukan pada akhirnya terbukti benar.

"Manusia Jawa" dan "Peking Man" kini diakui sebagai anggota spesies Homo erectus, nenek moyang langsung manusia yang mendiami dunia lama dari sekitar 1,7 juta sampai 250.000 tahun yang lalu.

Kerangka tubuh Homo Erectus pada dasarnya modern, tetapi memiliki wajah besar dengan sangat menonjol tulang alis. Banyak fosil jenis ini telah di temukan di Jawa Tengah,beberapa di antaranya lebih dari satu juta tahun. Replika yang di pajang di Museum Geologi di Bandung dan museum situs Sangiran, di luar Surakarta.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa homo errectus mungkin tidak bisa berbicara, tetapi ia bisa mengucapkan suara yang dapat di gunakan untuk berkomunikasi. Dia adalah seorang omnivora dan pengumpul makanan yang tinggal di gua-gua maupun di tempat-tempat terbuka dan tampaknya makhluk
pertama yang mengetahui penggunaan api.

Dia juga memproduksi alat dari batu yang mencakup pemotong serpihan, kapak dan lainnya. Ribuan alat batu berasal dari antara 500.000 dan 250.000 tahun yang lalu telah di kumpulkan di dasar Sungai Basoka dekat Pacitan, di selatan-Jawa Tengah. Alat serupa juga telah di temukan di Flores dan Timor, yang menarik dari penemuan ini adalah kemungkinan bahwa Homo erectus mungkin telah menyebar ke pulau-pulau bagian timur.

Apabila di lihat dari sudut mata pencahariannya periode ini di sebut masa berburu dan meramu makanan tingkat sederhana. Alat-alat yang di gunakan juga di kerjakan sangat kasar, oleh karena itu alat-alat batu buatan manusia pada jaman ini tidak di asah atau di poles. Masa ini di sebut juga masa Paleolitikhum atau zaman batu tua. Manusia pendukung zaman ini adalah Pithecantropus Erectus, Homo Wajakensis, Meganthropus Paleojavanicus dan Homo Soloensis. Fosil-fosil ini di temukan di sepanjang aliran sungai Bengawan solo.

Mereka memiliki kebudayaan Pacitan dan Ngandong. Pada tahun 1935 Von Koenigswald menemukan alat-alat batu dan kapak genggam di daerah Pacitan. Cara kerjanya di genggam dengan tangan, kapak ini di kerjakan dengan cara masih sangat kasar. Para ahli menyebut alat pada zaman Paleolithikum ini dengan nama Chopper. Alat ini di temukan di lapisan Trinil, selain di Pacitan, alat-alat dari zaman Paleolithikum ini di temukan di daerah Progo dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lahat (Sumatera Selatan).

Berdasarkan dari berbagai penemuan yang di dapat, kita bisa menyimpulkan beberapa ciri-ciri zaman Paleolithikum ini:

1. Jenis Manusia
Berdasarkan penemuan fosil manusia purba, jenis manusia purba yang hidup pada zaman ini adalah Pithecanthropus Erectus, Homo Wajakensis, Meganthropus Paleojavanicus dan Homo Soliensis. Fosil ini di temukan di aliran sungai Bengawan Solo.

2.Kebudayaan
Berdasarkan daerah penemuannya maka alat-alat kebudayaan Paleolithikum tersebut dapat di kelompokkan menjadi kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.
A. Kebudayaan Pacitan.
Pada tahun 1935, Von Koenigswald menemukan alat batu dan kapak genggam di daerah Pacitan. Kapak genggam itu berbentuk kapak tetapi tidak bertangkai. Kapak ini masih di kerjakan dengan sangat kasar dan belum di haluskan. Para ahli menyebutkan bahwa kapak itu adalah kapak Penetak. Selain di Pacitan alat-alat banyak di temukan di Progo dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat) dan Lahat (Sumatera Utara)

B. Kebudayaan Ngandong
Para ahli berhasil menemukan alat-alat dari tulang, flakes, alat penusuk dari tanduk Rusa dan ujung tombak bergigi di daerah Ngandong dan Sidoarjo, selain itu di dekat Sangiran di temukan alat sangat kecil dari bebatuan yang amat indah. Alat ini di namakan Serba Pilah, dan banyak di temukan di Cabbenge (Sulawesi Selatan) yang terbuat dari batu-batu indah seperti Kalsedon. Kebudayaan Ngandong juga di dukung oleh penemuan lukisan pada dinding goa seerti lukisan tapak tangan berwarna merah dan babi hutan di temukan di Goa Leang Pattae (Sulawesi Selatan).

Zaman ini di tandai dengan kebudayaan manusia yang masih sangat sederhana, ciri-ciri kehidupan manusia pada zaman Paleolithikum yaitu:
a. Hidupnya yang berpindah-pindah (Nomaden)
b. Mencari makannya dengan cara berburu (Food Gathering) dan menangkap ikan.

Beberapa alat-alat yang di temukan dan di gunakan pada zaman Paleolithikum ini adalah:

Kapak Genggam
1.Kapak Genggam.
Kapak genggam ini banyak di temukan di daerah Pacitan. Alat ini biasanya di sebut "chopper" (alat penetak/pemotong). Alat ini di namakan kapak genggam karena alat tersebut serupa dengan kapak tetapi tidak bertangkai dan cara mempergunakannya dengan cara menggenggam. Pembuatan kapak genggam di lakukan dengan cara memangkas salah satu sisi batu sampai menajam dan sisi lainnya di biarkan apa adanya sebagai tempat menggengam. Kapak genggam ini berfungsi untuk menggali umbi, memotong dan menguliti binatang.

Kapak Perimbas
2. Kapak Perimbas
Kapak perimbas ini berfungsi untuk merimbas kayu, memahat tulang dan sebagai senjata. Manusia kebudayaan Pacitan ini adalah jenis Pithecanthropus, alat ini juga di temukan di Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), Lahat (Sumatera Selatan) dan Goa Choukoutieen (Beijing). Alat ini paling banyak di temukan di daerah Pacitan Jawa Tengah sehingga oleh Ralp Von Koenigswald di sebut kebudayaan Pacitan.

Alat-alat dari tulang binatang
dan tanduk rusa
3. Alat-alat dari tulang binatang atau tanduk rusa.
Salah satu alat peninggalan zaman Paleolithikum juga adalah di temukannya alat dari tulang binatang. Alat dari tulang binatang ini termasuk hasil kebudayaan Ngandong. Kebanyakan alat dari tulang ini berupa alat penusuk (belati) dan ujung tombak bergerigi. Fungsi dari alat ini adalah untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah. Selain itu alat ini juga biasa di gunakan sebagai alat untuk menangkap ikan.




Flakes yang di temukan di Sangiran
4.Flakes
Flakes yaitu alat-alat kecil yang terbuat dari batu Chalcedon, yang dapat di gunakan untuk mengupas makanan. Flakes termasuk hasil kebudayaan Ngandong sama seperti alat-alat dari tulang binatang. Kegunaan alat-alat ini pada umumnya untuk berburu, menangkap ikan, mengumpulkan ubi dan buah-buahan


2. ZAMAN MESOLITHIKUM
Klasifikasi lebih fosil hominid baru-baru ini masih sangat di ragukan, terutama untuk spesies peralihan antara Homo erectus dan manusia modern. Pusat untuk permasalahan klasifikasi adalah pertanyaan apakah manusia modern berevolusi di satu tempat (di anggap oleh beberapa orang untuk menjadi sub Sahara Afrika) dan kemudian menyebar ke daerah lain, atau apakah evolusi paralel terjadi di berbagai tempat dan pada tingkat yang berbeda. Catatan fosil dapat di tafsirkan untuk mendukung kedua pandangan.

Dalam lingkup Indonesia, kontroversi ini berpusat di sekitar penanggalan dan klasifikasi yang di sebut "Man Solo" fosil yang di temukan antara tahun 1931 dan 1933 di samping Sungai Bengawan Solo di Ngandong, di Jawa Tengah. Beberapa ahli mengklasifikasikan "Man solo" sebagai spesies intermidiate berasal dari mungkin 250.000 tahun yang lalu, dan mengklaim dirinya sebagai bukti keturunan Tenggara-Asia yang berbeda dari evolusi Homo errectus manusia modern.

Dan yang lain menegaskan bahwa "Man Solo" itu hanya sebuah spesies Homo erectus canggih yang selamat dalam isolasi dan kemudian keluar meninggalkan habitatnya sepenuhnya. Di butuhkan penemuan lebih akurat yang lebih spesifik untuk mengatasi masalah tersebut.

Catatan fosil dari manusia modern (Homo sapiens) berasal dari 60.000 tahun yang lalu telah di temukan di Cina dan daratan Asia Tenggara, dan ini lebih baik di bandingkan dengan penampilan homo sapiens di bagian lain dunia, meskipun dengan di temukannya dua fosil Afrika yang di perkirakan usianya lebih dari 90.000 tahun. Manusia modern juga pernah menghuni di Indonesia. New Guinea dan Australia sekitar 40.000 tahun yang lalu dan bahkan mungkin lebih awal.

Semua fosil Homo sapiens Asia Tenggara sebelum sekitar 5.000 SM telah di identifikasi sebagai anggota kelompok Australoid masyarakat yang bertahan di tempat terisolasi di Malaya dan Filipina yang hari ini sebagai berkulit hitam, kurus berambut negritos. Di perkirakan karena itu masyarakat Australoid merupakan penduduk asli dari seluruh wilayah, dan kemudian di serap, di dorong ke dataran tinggi atau di dorong ke arah timur dengan berikutnya "gelombang" migrasi Mongolia.

Menurut pandangan ini, ciri-ciri fisik Autraloid di temukan hari ini di antara sebagian besar Mongolia dan populasi Indonesia, seperti rambut keriting dan kulit gelap, merupakan bukti adanya kontribusi genetik Autraloid. Dari sedikit bukti yang kita miliki tampak bahwa Homo sapiens awal di lanjutkan dan di
sempurnakan dengan adanya penemuan-penemuan batu yang di pipihkan-alat pembuatan lainnya dari Homo erectus, juga penciptaan instrumen tulang, kerang dan bambu.

Mereka berkumpul dan berburu, makan berbagai macam buah-buahan, tanaman, dan hewan moluska, termasuk tapir, gajah, rusa dan rhinoceri. Tampaknya bahwa mereka juga kanibal, karena adanya penemuan tulang manusia yang hancur bersama kerang yang di buang dengan tulang belulang hewan.

Di mulai sekitar 20.000 tahun yang lalu, ada bukti fosil penguburan manusia dan kremasi partial, beberapa lukisan gua ( figur manusia dan hewan) di temukan di barat daya Sulawesi dan New Guinea yang berusia mungkin 10.000 tahun atau lebih. The Neolitik atau New Age Batu di tandai di sini sebagai tempat lain oleh munculnya pemukiman penduduk, hewan peliharaan, alat-alat batu yang di poles, tembikar dan budidaya makanan.


Beberapa penemuan hasil kebudayaan Mesolithikum di antaranya adalah:
1. Kebudayaan Pebble (Pebble Culture)
Terdapat beberapa penemuan hasil dari kebudayaan Pebble (Pebble Culture) yang dalam bentuknya unik di antaranya adalah:

 Kjokkenmoddinger (Sampah Dapur).
A. Kjokkenmoddinger (Sampah Dapur).
Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan modding artinya juga sampah, jadi Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah dapur. Tapi dalam kenyataanya Kjokkenmoddinger itu adalah hasil dari timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang tingginya mencapai 7 meter dan sudah membatu atau sudah menjadi fosil.

Temukan ini pertama kali di temukan di sepanjang pantai timur Sumatera yakni antara Langsa dan Medan. Pada tahun 1925 Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam pada zaman Paleolithikum). Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba pada zaman ini sudah menetap.

Pebble (kapak genggam Sumatra)
b. Pebble (kapak genggam Sumatera= Sumateralith)
Kapak genggam ini di temukan di dalam bukit kerang dan di sebut juga pebble/kapak genggam Sumatra (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu di pulau Sumatra. Bahan-bahan untuk membuat kapak tersebut berasa dari batu kali yang di pecah-pecah. Penelitian pebble ini di lakukan pada tahun 1925 oleh Dr. P.V. Van Stein Callenfels.

c. Hachecourt (kapak pendek).
Kapak ini bentuknya pendek setengah lingkaran, ini juga di temukan di dalam bukit kerang.

Pipisan
d. Pipisan
Selain kapak-kapak yang di temukan dalam bukit kerang tersebut, di temukan pipisan (batu-batu penggiling beserta landasannya). Batu pipisan ini di gunakan untuk menggiling makanan dan juga untuk menghaluskan cat merah. Bahan cat merah berasal dari tanah merah. Cat merah di perkirakan di gunakan untuk keperluan religius dan untuk ilmu sihir.

2. Kebudayaan Tulang dari Sampung (Sampung Bone Culture)
Berdasarkan alat-alat kehidupan yang di temukan di goa Lawa di Sampung (daerah Ponorogo-Madium Jawa Timur) tahun 1928-1931 di temukan alat-alat dari batu seperti ujung panah dan flakes, kapak yang sudah di asah, alat dari tulang, tanduk rusa, dan juga alat-alat dari perunggu dan besi. Oleh para arkeolog bagian terbesar dari alat-alat yang di temukan ini adalah dari tulang, sehingga di sebut sebagai Sampung Bone Culture.

Abris Sous Roche
3. Kebudayaan Flakes (Flakes Culture)
Abris Sous Roche adalah goa-goa yang yang di jadikan tempat tinggal manusia purba pada zaman Mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan binatang buas. Penyelidikan pertama pada Abris Sous Roche dilakukan oleh Dr. Van Stein Callenfels tahun 1928-1931 di goa Lawa dekat Sampung Ponorogo Jawa Timur.

Alat-alat yang di temukan pada goa tersebut antara lain alat-alat dari batu seperti ujung panah, flakes, batu pipisan, kapak yang sudah di asah yang berasal dari zaman Mesolithikum, serta alat-alat dari tulang dan tanduk rusa.Di antara alat-alat kehidupan yang di temukan ternyata yang paling banyak adalah alat dari tulang sehingga oleh para arkeolog di sebut sebagai Sampung Bone Culture / kebudayaan tulang dari Sampung.

Karena goa di Sampung tidak di temukan Pebble ataupun kapak pendek yang merupakan inti dari kebudayaan Mesolithikum. Selain di Sampung, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Besuki dan Bojonegoro Jawa Timur. Penelitian terhadap goa di Besuki dan Bojonegoro ini di lakukan oleh Van Heekeren. Di Sulawesi Selatan juga banyak di temukan Abris Sous Roche terutama di daerah Lomoncong yaitu goa Leang Patae yang di dalamnya ditemukan flakes, ujung mata panah yang sisi-sisinya bergerigi dan pebble.

Di goa tersebut di diami oleh suku Toala, sehingga oleh tokoh peneliti Fritz Sarasin dan Paul Sarasin, suku Toala yang sampai sekarang masih ada dianggap sebagai keturunan langsung penduduk Sulawesi Selatan zaman prasejarah. Untuk itu kebudayaan Abris Sous Roche di Lomoncong disebut kebudayaan Toala. Kebudayaan Toala tersebut merupakan kebudayaan Mesolithikum yang berlangsung sekitar tahun 3000 sampai 1000 SM. Selain di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, Abris Sous Roche juga di temukan di daerah Timor dan Rote. Penelitian terhadap goa tersebut dilakukan oleh Alfred Buhler yang di dalamnya ditemukan flakes dan ujung mata panah yang terbuat dari batu indah.

B. KEBUDAYAAN BACSON-HOABINH
Kebudayaan ini di temukan dalam gua-gua dan dalam bukit-bukit kerang di Indo-China, Siam, Malaka, dan Sumatera Timur. Alat-alat kebudayaannya terbuat dari batu kali, seperti bahewa batu giling. Pada kebudayaan ini perhatian terhadap orang meninggal dikubur di gua dan juga di bukit-bukit kerang. Beberapa mayatnya diposisikan dengan berjongkok dan diberi cat warna merah. Pemberian cat warna merah bertujuan agar dapat mengembalikan hayat kepada mereka yang masih hidup.

Di Indonesia, kebudayaan ini ditemukan di bukit-bukit kerang. Hal seperti ini banyak ditemukan dari Medan sampai ke pedalaman Aceh. Bukit-bukit itu telah bergeser sejauh 5 km dari garis pantai menunjukkan bahwa dulu pernah terjadi pengangkatan lapisan-lapisan bumi. Alur masuknya kebudayaan ini sampai ke Sumatera melewati Malaka. Di Indonesia ada dua kebudayaan Bacson-Hoabinh, yakni:
-Kebudayaan pebble dan alat-alat dari tulang yang datang ke Indonesia melalui jalur barat.
-Kebudayaan flakes yang datang ke Indonesia melalui jalur timur.

Dengan adanya keberadaan manusia jenis Papua Melanosoide di Indonesia sebagai pendukung kebudayaan Mesolithikum, maka para arkeolog melakukan penelitian terhadap penyebaran pebble dan kapak pendek sampai ke daerah teluk Tonkin daerah asal bangsa Papua Melanosoide. Dari hasil penyelidikan tersebut, maka ditemukan pusat pebble dan kapak pendek berasal dari pegunungan Bacson dan daerah Hoabinh, di Asia Tenggara. Tetapi di daerah tersebut tidak ditemukan flakes, sedangkan di dalam Abris Sous Roche banyak ditemukan flakes bahkan di pulau Luzon (Filipina) juga ditemukan flakes. Ada kemungkinan kebudayaan flakes berasal dari daratan Asia, masuk ke Indonesia melalui Jepang, Formosa dan Filipina.

Lukisan goa
C. KEBUDAYAAN TOALA
Kebudayaan Toala dan yang serumpun dengan itu di sebut juga kebudayaan flake dan blade. Alat-alatnya terbuat dari batu-batu yang menyerupai batu api dari eropa, seperti chalcedon, jaspis, obsidian dan kapur. Perlakuan terhadap orang yang meninggal di kuburkan didalam gua dan bila tulang belulangnya telah mengering akan diberikan kepada keluarganya sebagai kenang-kenangan.

Biasanya kaum perempuan akan menjadikan tulang belulang tersebut sebagai kalung. Selain itu,di dalam gua terdapat lukisan mengenai perburuan babi dan juga rentangan lima jari yang di lumuri cat merah yang di sebut dengan “silhoutte”. Arti warna merah tanda berkabung. Kebudayaan ini di temukan di Jawa (Bandung, Besuki, dan Tuban), Sumatera (danau Kerinci dan Jambi), Nusa Tenggara di pulau Flores dan Timor.

3. ZAMAN NEOLITHIKUM
Orang-orang Indonesia zaman neolithikum membentuk masyarakat-masyarakat dengan pondok-pondok mereka berbentuk persegi siku-siku dan didirikan atas tiang-tiang kayu, dinding-dindingnya diberi hiasan dekoratif yang indah-indah, Walaupun alat-alat mereka masih dibuat daripada batu, tetapi alat-alat itu dibuat dengan halus, bahkan juga sudah dipoles pada kedua belah mukanya.

Pada zaman ini orang-orang sudah mulai mengenal istilah pertanian meskipun masih sangat primitif yaitu hanya di lakukan di tanah-tanah kering saja. Pohon-pohon dari beberapa bagian hutan di kelupak kulitnya dan kemudian dibakar. Tanah-tanah yang baru dibuka untuk pertanian semacam itu untuk beberapa kali berturut-turut ditanami dan sesudah itu ditinggalkan.

Cara hidup zaman neolithikum membawa perubahan-perubahan besar, karena pada zaman itu manusia mulai hidup berkelompok kemudian menetap dan tinggal bersama dalam kampung. Berarti pembentukan suatu masyarakat yang memerlukan segala peraturan kerja sama.

Pembagian kerja memungkinkan perkembangan berbagai macam dan cara penghidupan di dalam ikatan kerjasama itu. Dapat di katakan pada zaman neolithikum itu terdapat dasar-dasar pertama untuk penghidupan manusia sebagai manusia, sebagaimana kita dapatkan sekarang.

Pada zaman Neolithikum ini alat-alat terbuat dari batu yang sudah di haluskan. Beberapa hasil kebudayaan dari zaman Neolithikum adalah:
1.Pahat Segi Panjang
Daerah asal kebudayaan pahat segi panjang ini meliputi Tiongkok Tengah dan Selatan, daerah Hindia Belakang sampai ke daerah sungai gangga di India, selanjutnya sebagian besar dari Indonesia, kepulauan Philipina, Formosa, kepulauan Kuril dan Jepang.

Kapak Persegi
2.  Kapak Persegi
Asal-usul penyebaran kapak persegi melalui suatu migrasi bangsa Asia ke Indonesia. Nama kapak persegi diberikan oleh Van Heine Heldern atas dasar penampang lintangnya yang berbentuk persegi panjang atau trapesium. Penampang kapak persegi tersedia dalam berbagai ukuran, ada yang besar dan kecil. Yang ukuran besar lazim di sebut dengan beliung dan fungsinya sebagai cangkul/pacul. Sedangkan yang ukuran kecil di sebut dengan Tarah/Tatah dan fungsinya sebagai alat pahat/alat untuk mengerjakan kayu sebagaimana lazimnya pahat.

Bahan untuk membuat kapak tersebut selain dari batu biasa, juga di buat dari batu api/chalcedon. Kemungkinan besar kapak yang terbuat dari calsedon hanya dipergunakan sebagai alat upacara keagamaan, azimat atau tanda kebesaran. Kapak jenis ini di temukan di daerahi Sumatera, Jawa, bali, Nusatenggara, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan.

Kapak Lonjong
3. Kapak Lonjong
Sebagian besar kapak lonjong di buat dari batu kali, dan warnanya kehitam-hitaman. Bentuk keseluruhan dari kapak tersebut adalah bulat telur dengan ujungnya yang lancip menjadi tempat tangkainya, sedangkan ujung lainnya diasah hingga tajam. Untuk itu bentuk keseluruhan permukaan kapak lonjong sudah diasah halus.

Ukuran yang di miliki kapak lonjong yang besar lazim di sebut dengan Walzenbeil dan yang kecil di sebut dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi kapak lonjong sama dengan kapak persegi. Daerah penyebaran kapak lonjong adalah Minahasa, Gerong, Seram, Leti, Tanimbar dan Irian. Dari Irian kapak lonjong tersebar meluas sampai di Kepulauan Melanesia, sehingga para arkeolog menyebutkan istilah lain dari kapak lonjong dengan sebutan Neolithikum Papua.

4. Kapak Bahu
Kapak jenis ini hampir sama seperti kapak persegi, hanya saja di bagian yang diikatkan pada tangkainya diberi leher. Sehingga menyerupai bentuk botol yang persegi. Daerah kebudayaan kapak bahu ini meluas dari Jepang, Formosa, Filipina terus ke barat sampai sungai Gangga. Tetapi anehnya batas selatannya adalah bagian tengah Malaysia Barat. Dengan kata lain di sebelah Selatan batas ini tidak di temukan kapak bahu, jadi neolithikum Indonesia tidak mengenalnya, meskipun juga ada beberapa buah di temukan yaitu di Minahasa.

Perhiasan gelang Neolithikum
5. Perhiasan (gelang dan kalung dari batu indah)
Jenis perhiasan ini banyak di temukan di wilayah jawa terutama gelang-gelang dari batu indah dalam jumlah besar walaupun banyak juga yang belum selesai pembuatannya. Bahan utama untuk membuat benda ini di bor dengan gurdi kayu dan sebagai alat abrasi (pengikis) menggunakan pasir. Selain gelang di temukan juga alat-alat perhisasan lainnya seperti kalung yang dibuat dari batu indah pula. Untuk kalung ini di pergunakan juga batu-batu yang di cat atau batu-batu akik.

6. Pakaian dari kulit kayu
Pada zaman ini mereka telah dapat membuat pakaiannya dari kulit kayu yang sederhana yang telah di perhalus. Pekerjaan membuat pakaian ini merupakan pekerjaan kaum perempuan. Pekerjaan tersebut di sertai pula berbagai larangan atau pantangan yang harus di taati. Sebagai contoh di Kalimantan dan Sulawesi Selatan dan beberapa tempat lainnya di temukan alat pemukul kulit kayu. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang zaman neolithikum sudah berpakaian.


Genderang Dongson
7. Tembikar periuk belanga
Orang sering menyebut penemuan ini dengan nama  istilah kebudayaan Dongson. Kebudayaan Dongson adalah kebudayaan zaman Perunggu yang berkembang di Lembah Sông Hồng, Vietnam. Kebudayaan ini juga  berkembang di Asia Tenggara, termasuk di Nusantara dari sekitar 1000 SM sampai 1 SM.Kebudayaan Dongson mulai berkembang di Indochina pada masa peralihan dari periode Mesolitik dan Neolitik yang kemudian periode Megalitik. Pengaruh kebudayaan Dongson ini juga berkembang menuju Nusantara yang kemudian di kenal sebagai masa kebudayaan Perunggu.

Kebudayaan Dongson secara keseluruhan dapat di nyatakan sebagai hasil karya kelompok bangsa Austronesia yang terutama menetap di pesisir Annam, yang berkembang antara abad ke-5 hingga abad ke-2 Sebelum Masehi. Kebudayaan ini sendiri mengambil nama situs Dongson di Tanh hoa.

Penemuan Dongson yang terbaik adalah genderang perunggu seremonial dan kapak yang khas di hiasi dengan ukiran hewan geometris, dan motif manusia. Ini gaya dekoratif yang sangat berpengaruh dalam berbagai bidang seni rupa Indonesia, dan tampaknya telah menyebar bersama-sama dengan teknik pengecoran perunggu, seperti cetakan batu tua telah di temukan di berbagai situs di Indonesia.

Siapa yang menjadi pembuat perunggu Kebudayaan Dongson dari Indonesia? Sulit untuk mengatakan dengan pasti, tetapi tampaknya bahwa kerajaan kecil berdasarkan sawah pertanian dan perdagangan luar negeri berkembang sudah di Nusantara selama periode ini.

Di India telah di temukan situs prasejarah yang beberapa hasil temuannya telah ada beberapa di Indonesia, seperti sebuah panel dari genderang perunggu di temukan di Pulau Sangeang dekat Sumbawa, menggambarkan tokoh-tokoh dalam gaun Cina kuno. Pada catatan awal bangsa Han menyebutkan bahwa hasil pulau di bagian timur Indonesia adalah cengkeh, dan dapat di pastikan bahwa pada abad kedua SM (jika tidak sebelumnya), perdagangan telah tersebar luas di seluruh nusantara.


Rangkuman:
Penelitian manusia purba di Indonesia di lakukan oleh :

Eugena Dobois
1. Eugena Dobois
Dia adalah yang pertama kali tertarik meneliti manusia purba di Indonesia setelah mendapat kiriman sebuah tengkorak dari B.D Von Reitschoten yang menemukan tengkorak di Wajak, Tulung Agung.
• Fosil itu di namai Homo Wajakensis, termasuk dalam jenis Homo Sapien (manusia yang sudah berpikir maju)
• Fosil lain yang di temukan adalah :
Pithecanthropus Erectus (phitecos = kera, Antropus Manusia, Erectus berjalan tegak) di temukan di daerah Trinil, pinggir Bengawan Solo, dekat Ngawi, tahun 1891. Penemuan ini sangat menggemparkan dunia ilmu pengetahuan.
• Pithecanthropus Majokertensis, ditemukan di daerah Mojokerto
• Pithecanthropus Soloensis, di temukan di daerah Solo

2. G.H.R Von Koeningswald
Hasil penemuannya adalah : Fosil tengkorak di Ngandong, Blora. Tahun 1936, di temukan tengkorak anak di Perning, Mojokerto. Tahun 1937 – 1941 di temukan tengkorak tulang dan rahang Homo Erectus dan Meganthropus Paleojavanicus di Sangiran, Solo.

3. Penemuan lain tentang manusia Purba :
Di temukan tengkorak, rahang, tulang pinggul dan tulang paha manusia Meganthropus, Homo Erectus dan Homo Sapien di lokasi Sangiran, Sambung Macan (Sragen),Trinil, Ngandong dan Patiayam (kudus).

4. Penelitian tentang manusia Purba oleh bangsa Indonesia dimulai pada tahun 1952 yang di pimpin oleh Prof. DR. T. Jacob dari UGM, di daerah Sangiran dan sepanjang aliran Bengawan Solo.
Fosil Manusia Purba yang di temukan di Asia, Eropa, dan Australia adalah :
• Semuanya jenis Homo yang sudah maju : Serawak (Malaysia Timur), Tabon (Filipina), dan Cina.
• Fosil yang di temukan di Cina oleh Dr. Davidson Black, dinamai Sinanthropus Pekinensis.
• Fosil yang di temukan di Neanderthal, dekat Duseldorf, Jerman yang di namai Homo Neaderthalensis.
• Menurut Dubois, bangsa asli Australia termasuk Homo Wajakensis, sehingga ia berkesimpulan Homo Wajakensis termasuk golongan bangsa Australoid.
Jenis-jenis Manusia Purba yang di temukan di Indonesia ada tiga jenis :
1. Meganthropus
2. Pithecanthropus
3. Homo

Jenis manusia Purba Pithecanthropus
Ciri-ciri manusia purba yang di temukan di Indonesia :
1. Ciri Meganthropus :
• Hidup antara 2 s/d 1 juta tahun yang lalu
• Badannya tegak
• Hidup mengumpulkan makanan
• Makanannya tumbuhan
• Rahangnya kuat

2. Ciri Pithecanthropus :
• Hidup antara 2 s/d 1 juta tahun yang lalu
• Hidup berkelompok
• Hidungnya lebar dengan tulang pipi yang kuat dan menonjol
• Mengumpulkan makanan dan berburu
• Makanannya daging dan tumbuhan

3. Ciri jenis Homo :
• Hidup antara 25.000 s/d 40.000 tahun yang lalu
• Muka dan hidung lebar
• Dahi masih menonjol
• Tarap kehidupannya lebih maju di banding manusia sebelumnya

CORAK KEHIDUPAN PRASEJARAH INDONESIA DAN HASIL BUDAYANYA
Hasil kebudayaan manusia prasejarah untuk mempertahankan dan memperbaiki pola hidupnya menghasilkan dua bentuk budaya yaitu :
• Bentuk budaya yang bersifat Spiritual
• Bentuk budaya yang bersifat Material

i. Masyarakat Prasejarah mempunyai kepercayaan pada kekuatan gaib yaitu :
• Dinamisme, yaitu kepercayaan terhadap benda-benda yang di anggap mempunyai kekuatan gaib. Misalnya : batu, keris
• Animisme, yaitu kepercayaan terhadap roh nenek moyang mereka yang bersemayam dalam batu-batu besar, gunung, pohon besar. Roh tersebut di namakan Hyang.

ii. Pola kehidupan manusia prasejarah adalah :
• Bersifat Nomaden (hidup berpindah-pindah), yaitu pola kehidupannya belum menetap dan berkelompok di suatu tempat serta, mata pencahariannya berburu dan masih mengumpulkan makanan.
• Bersifat Sedenter (menetap), yaitu pola kehidupannya sudah terorganisir dan berkelompok serta menetap di suatu tempat, mata pencahariannya bercocok tanam. Muali mengenal norma adat, yang bersumber pada kebiasaan-kebiasaan.

iii. Sistem bercocok tanam/pertanian
• Mereka mulai menggunakan pacul dan bajak sebagai alat bercocok tanam
• Menggunakan hewan sapi dan kerbau untuk membajak sawah
• Sistem huma untuk menanam padi
• Belum di kenal sistem pemupukan

iv. Pelayaran
Dalam pelayaran manusia prasejarah sudah mengenal arah mata angin dan mengetahui posisi bintang sebagai penentu arah (kompas)

v. Bahasa
• Menurut hasil penelitian Prof. Dr. H. Kern, bahasa yang di gunakan termasuk rumpun bahasa Austronesia yaitu : bahasa Indonesia, Polinesia, Melanesia, dan Mikronesia.
• Terjadinya perbedaan bahasa antar daerah karena pengaruh faktor geografis dan perkembangan bahasa.

Jenis fosil manusia purba Indonesia:
01. Meganthropus Paleojavanicus (Sangiran).
02. Pithecanthropus Robustus (Trinil).
03. Pithecanthropus Erectus (Homo Erectus) (Trinil).
04. Pithecanthropus Dubius (Jetis).
05. Pithecanthropus Mojokertensis (Perning).
06. Homo Javanensis (Sambung Macan).
07. Homo Soloensis (Ngandong).
08. Homo Sapiens Archaic.
09. Homo Sapiens Neandertahlman Asia.
10. Homo Sapiens Wajakensis (Tulungagung)
11. Homo Modernman.

Peta Penemuan Fosil Manusia Purba
 di Jawa Tengah – Jawa Timur
Peta Penemuan Fosil Manusia Purba di Jawa Tengah – Jawa Timur

1.  Sangiran
2 . Sambungmacan
3 . Sonde
4 . Trinil
5 . Ngandong
7 . Kedung Brubus
8 . Kalibeng
9 . Kabuh
10 . Pucangan
11 . Mojokerto (Jetis-Perning)



Peta penyebaran Homo erectus